Dasar Pedoman Pemilu Muslim
Sabtu, 22 Maret 2014
0
komentar
Dasar Pedoman Pemilu Muslim
Seluruh anak bangsa saat ini sedang berada dalam masa
yang penuh gemuruh dan desas-desus. Semuanya karena hawa yang dibawa oleh
perhelatan akbar bernama PEMILU. Paket perhelatan ini berisi pemilihan calon
legislatif alias wakil rakyat, dan juga
pemilihan calon presiden beserta wakilnya. Setiap muslim mengerti bahwa
perhelatan ini adalah buah produksi industri
demokrasi, industri multinasional yang digawangi oleh orang-orang Eropa,
yang sudah tentu berbeda dari bangsa ini, beda ras, budaya, agama, bahkan nasionalitas.
Kita selalu mau untuk ribut menentang industri asing
di sekitar kita, dalam bidang apa saja ia bercokol, meski kita tidak merasa
dirugikan secara personal. Terbaliknya, untuk demokrasi yang satu ini kita justru
turut serta, dengan sukarela dan penuh kesungguhan, beribu alasan akan
disodorkan untuk melegalkan tingkah polah Anda tersebut.
Kalau anda masih ingin membela demokrasi dan aneka
produknya, maka tulisan ini bukanlah menu yang perlu untuk disantap. Menu kali
ini khusus terkait dengan cara menyikapi pemilu sedangkan Anda mengakui hukum demokrasi
haram. Sekali lagi, hukumnya HARAM. Untuk selanjutnya silakan Anda memastikan
sendiri:
Pertama: Pemilu itu hukumnya haram dengan jelas dan
pasti. Mengikuti hukum induknya.
Kedua: Sesuatu yang haram tidak dapat ditoleransi
kecuali darurat.
Ketiga: Darurat itu perlu ditimbang sesuai hukum
syari, sebagaimana haram juga diputuskan oleh syariat.
Keempat: Darurat itu berbeda dengan kebutuhan, mau
tidak mau hanya itulah adanya, itulah darurat.
Kelima: Jika status darurat dalam situasi serta
kondisi tertentu menjadi mungkin, maka harus dipastikan itu adalah benar-benar
darurat. Karena status haram adalah jelas dan pasti, tidak bisa digugurkan
dengan sesuatu yang berupa kemungkinan.
Keenam: Ada beberapa alasan yang sering digunakan
untuk menoleransi keikutsertaan dalam pemilu. Diantaranya:
-
Ada banyak kebaikan dihasilkan oleh kaum muslim yang berperan dalam
ranah demokrasi ketika mengemban jabatannya.
-
Pemilu adalah jalan untuk menegakkan kepemimpinan islam. Demi tujuan
tersebut maka hukum pemilu berubah mengikuti hukum tujuannya.
-
Kita harus menimbang antara kebaikan dan keburukan. Kalau kita tidak
menggunakan hak pilih, maka pemimpin akan dipilih oleh mereka yang kafir dan
tak berkredibilitas. Kita akan bertanggung jawab karena ketidak ikutsertaan
kita dalam memenangkan kebaikan.
Sebagai komentar atas pandangan di atas, kita katakan:
-
Kebaikan bisa dihasilkan tanpa harus menaiki tangga yang dilarang. Maka
selama ada pilihan untuk berbuat baik di tempat lain, maka tak ada alasan untuk
menerjang larangan.
-
Keburukan yang dihasilkan oleh kaum muslim di ranah demokrasi jauh
lebih banyak daripada kebaikannya. Berdemokrasi sendiri sudah termasuk
pelanggaran yang teramat sangat serius, bahkan menyinggung area keimanan dan
kekufuran.
-
Kepemimpinan Islam bisa dibuat tanpa berdemokrasi. Selama bisa dengan
cara yang baik, maka tak ada toleransi untuk demokrasi. Terlebih kepemimpinan
Islam bukanlah perintah yang harus ditegakkan langsung saat ini, seperti salat
dan syahadat misalnya. Ia ditegakkan ketika tiba saatnya, dan syariat
menunjukkan jalan membuat saat-saat tersebut, dengan cara yang legal dalam
Islam tentunya.
-
Jangan hanya menggunakan kaedah ‘hukum cara mengikuti hukum tujuan’.
Namun, ‘tujuan bukan berarti melegalkan segala cara’. Anda tak bisa berhaji
dengan harta korupsi, begitu juga bersedekah dengan mencuri. Anda bisa merubah
hukum cara mengikuti tujuannya, bila cara tersebut adalah mubah.
-
Menimbang antara mana yang lebih baik dilakukan apabila tak ada cara
lain.
-
Dalam berdemokrasi tak ada batas jelas antara baik dan buruk. Faktanya,
partai dan calon muslim ‘taat’ pun, tak berbuat lebih baik daripada partai dan
calon sekuler. Bahkan kaum sekuler terkadang bisa berbuat yang baik, sebab
mereka juga memiliki Islam dalam hati mereka.
-
Jika terjadi hal-hal buruk pada level kepemimpinan, maka yang
bertanggungjawab adalah mereka yang memilihnya. sedang mereka yang berdiam
diri tidaklah berbuat apa-apa, maka tak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Kalau memang buruk kenapa Anda memilihnya?. Saya diam, karena mengerti bahwa
saya ikut andil memilih yang buruk, meski saya sudah menimbang yang paling
ringan keburukannya.
-
Berkuasanya orang-orang yang buruk bukan karena ketidak sertaan kita
dalam berdemokrasi. Namun, ujian dari Allah bagi umat-Nya tatkala mereka jauh
dari agama, di saat itu syariat mengajarkan bersabar dan membangun dari bawah
hingga saatnya tiba. Bukan justru dari atas namun tanpa tiang dan pondasi.
-
Lebih dari setengah abad, umat ini bertaruh pada demokrasi. Namun
selama itu pula mereka justru makin terpuruk, ironisnya justru ketika
parta-partai Islam sedang bebas-bebasnya tanpa tekanan apapun, lebih
disayangkan lagi ketika sebuah partai Islam memiliki jatah kursi parlemen yang
banyak, menguasai majelis tinggi, dan meraup suara yang terus menanjak.
Faktanya makin terjun berdemokrasi makin jauh umat dari impian kepemimpinan
Islam ideal.
-
Jika pun ada satu kesempatan berkuasa, maka ada dua kemungkinan yang
akan muncul: 1) Berkuasa tanpa bisa berbuat apa-apa, karena terikat aturan dan
perundangan. 2) Atau bertindak radikal, dan saat itu negara akan bergejolak dan
kekuasaan yang diraih akan luntur seketika. Kesimpulannya, tak ada secuilpun
kebaikan yang ada di balik demokrasi bukan? Fakta telah berteriak lebih dari
sekali.
Suatu hari, ayah saya mengomentari lolosnya UU
Pornografi dan Pornoaksi yang kontroversial itu. Ia bilang bahwa itu bukan
karena adanya orang-orang muslim ‘golongan A’ dalam parlemen, kebaikan semacam
itu kerap terjadi dalam pemerintahan kita karena adanya orang-orang salih yang
masih memohon dan bermunajat kepada Yang Maha Kuasa, karena masih ada
orang-orang yang memperbaiki kesalahan umat di tengah-tengah masyarakat, dengan
cara yang benar. Dalam kehidupan ini banyak timbal-balik yang diatur oleh Allah
dan tak dapat dilogikakan sebab-akibatnya. Masalah kekuasaan adalah salah
satunya.
Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya, bahwa Ia tak
akan pernah menguasakan orang kafir dan munafik kepada umatnya. Namun, ketika
mereka jauh dari jalan yang benar, mereka akan berpecah-belah, saat itulah
berkuasa atas mereka musuh-musuh agama sebagai teguran Allah bagi mereka.
Bukankah penguasa adalah cerminan rakyat yang dipimpinnya? Kalau sekiranya,
mereka yang telah berjuang dan mengerahkan banyak waktu, daya dan upaya dalam
demokrasi demi tujuan ‘suci’ mengerti, hasil luar biasa yang akan mereka lihat,
jika itu semua dialih gunakan demi mengembalikan umat menuju jalan Islam yang
benar.
Catatan:
Ada situasi dan kondisi tertentu yang menoleransi keikutsertaan
dalam pemilu semata-mata karena darurat. Jika seseorang yang kita kenal
memiliki pandangan untuk menetapkan status darurat, maka diperlukan pengetahuan
yang lebih mendalam akan realita dan mengerti akan hukum-hukum agama yang baik.
Jika memang terjadi perselisihan (dalam kasus ini saja) karena murni ijtihad,
maka yang diperbolehkan adalah menyalahkan yang salah, namun bukan berarti
mengecap sesat yang berbeda, terlebih sampai memutus ukhuwah Islam.
Semarang, 15 Maret 2014
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dasar Pedoman Pemilu Muslim
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://abunufaisa.blogspot.com/2014/03/dasar-pedoman-pemilu-muslim.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar