Ironi Para Pengekor (Ahlu Taqlid)
Kamis, 20 Maret 2014
0
komentar
Ironi Para Pengekor (Ahlu Taqlid)
Taqlid yang dalam
agama terlarang kecuali bila terpaksa tak memiliki ilmu dan terdesak situasi,
oleh KBBI dimaknai sebagai keyakinan atau kepercayaan kpd suatu paham (pendapat)
ahli hukum yg sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya; peniruan; dan tertulis di sana sebagai berikut: TAKLID.
Terlepas pemaknaan dan penulisan sebenarnya yang kerap kali
dilanggar dalam dunia kepenulisan berbahasa Indonesia, taklid adalah kejumudan
dalam berpendapat utamanya dalam agama. Tak ada sedikitpun autentisitas dan
rasa ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan darinya. Tentu saja bila keyakinan
yang menyangkut masa depan setelah kematian tak dapat dipertanggungjawabkan
keabsahannya maka untuk apa harus meyakininya, berawal dari situlah Islam
membangun salah satu pondasinya. Di banyak tempat dalam Alquran tercantum
celaan akan praktik taklid. Begitu pula dalam sabda-sabda Rasul serta
ucapan-ucapan para Imam ahli ilmu.
Namun, ironinya sering kali kita yang saban-saban memperingatkan khalayak
ramai dari taklid justru secara tak dinyana
terjebak dalam persoalan yang sama. Kata orang, satu contoh nyata lebih
baik daripada seratus kata. Nah, contoh berikut inilah salah satunya: suatu
kali seorang mahasiswa melihat Ustadz Arifin Badri sedang makan seraya berdiri.
Dengan penuh kesangsian ia pun bertanya, “ustadz, kok makan berdiri?”, dengan santai beliau menjawab, “memangnya
kenapa?”, dijawab kembali oleh mahasiswa
tersebut, “kan haram.” “Mana dalilnya?” sergah beliau lagi. Sampai sini si pemuda
tersebut terkaget-kaget, bukan karena ia tahu ini tak ada dalilnya, tapi karena
selama ini ia hanya meyakini tanpa menghafal dalilnya, apalagi ini semacam hal
yang jamak diketahui bahwa ia haram hukumnya, giliran diperintah membuktikannya
tak satupun huruf keluar.
Pemuda ini pun mulai berujar dan curhat. Bahwa kita selama
ini sangat berbangga dengan kebiasaan taklid kelompok-kelompok yang memiliki
kesalahan beragama, dengan itu kita selalu berargumen ketika mereka tak dapat
mengemukakan dalilnya. Namun, di saat yang sama banyak hal yang tak kita
ketahui dalilnya, kita hanya bersandar pada ucapan siapa yang mengajari kita
agama. Bukankah itu setali tiga uang dengan mereka? Sama metode dan manhaj
meski berbeda hal yang dibela.
Parahnya terkadang apa yang kita yakini pun bisa salah. Masalah
tadi adalah salah satunya, padahal ada ulama yang tidak mengatakan bahwa hal
itu haram hukumnya. Lantas jika itu memiliki sisi kebenaran dan kita
menggeneralisasi kesalahan seakan itu sudah mutlak salah, alias sesuatu yang
terdapat perselisihan kita jadikan sesuatu yang bersifat konsensus, maka lebih
buruk lagi keadaannya. Padahal perkara yang benar saja kita anggap tak abash
tanpa dalil, apalagi perkara salah.
Contoh lain, ketika menghukumi orang lain salah, dan menempelkan
cap sebagai sesat, ahli bidah, dan yang semacamnya. Orang sering kali
mengatakan bahwa dia telah dicap sesat oleh syeikh fulan, dicap bidah oleh
ustadz alan, kitab ini telah menghukuminya begini, ceramah itu telah
mensifatinya begitu. Tanpa sadar, taklid pun digunakan untuk menjustifikasi
lontaran tuduhan kepada orang lain, terlepas benar atau salahnya stigma
tersebut, namun yang nyata adalah metodenya jelas-jelas salah.
Kalau anda ingin mengatakan seseorang begini dan begitu maka
tegakkanlah argumen anda dengan ilmiah dan berbobot, hanya itu saja. Tak perlu
untuk membawakan embel-embel berjilid-jilid perkataan orang lain yang sama
sekali bukan dalil dan pembenar. Kalau anda hanya seorang awam yang tak punya
ilmu dan terpaksa taklid maka tak perlu menyeru orang lain agar ikut menghukumi
sebagaimana yang anda yakini, karena anda tak punya ilmu sama sekali, sedangkan
menyampaikan kebenaran harus dengan ilmu, itu absolut dan wajib. Alih-alih
menahan diri, justru sebagian orang kelewatan batas dengan menerapkan praktik hajr
dan tahdzir hanya dengan modal sebiji taklid. Ironis!
Taklid telah merasuk ke jiwa-jiwa kita, karena itu adalah sifat
dasar kebodohan. Sedang kita semua pada asalnya adalah orang bodoh. Kalau bukan
karena ilmu tentulah kita atak pernah terangkat derajatnya, ilmu juga memiliki
derajat yang bermacam-macam, jadi jangan mudah terperdaya dengan sedikit ilmu
seakan kita tak pernah akan menjadi tukang taklid lagi. Ingatlah kalau ilmu
kita sedikit, sehingga kita mengerti kalau kita akan banyak taklid,
konsekuensinya berhentilah membangun agama dengan pondasi taklid, dan carilah
ilmu pada setiap permasalahan yang anda hadapi sehingga tak ada lagi taklid.
Anda hanya perlu tahu alasannya, itu saja. Satu kata: DALIL.
Muhammad Izzy
Jember, 27 Desember 2013
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Ironi Para Pengekor (Ahlu Taqlid)
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://abunufaisa.blogspot.com/2014/03/ironi-para-pengekor-ahlu-taqlid.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar